Jumat, 06 Mei 2011

Aku Dan Duniaku


Namaku Farah Riyantika Permata Sari. Aku terlahir sebagai anak keempat dari tiga bersaudara, karena anak sebelum aku tidak sempat lahir alias keguguran. Kedua orangtuaku berasal dari suku Jawa. Ayahku dilahirkan di Weleri sedangkan ibuku dilahirkan di Magelang.
Aku mempunyai dua kakak, kakak yang pertama laki-laki dan kakak yang kedua perempuan. Kakakku yang pertama lahir di tempat dimana ibuku dulu dilahirkan. Sedangkan kakakku yang kedua dilahirkan di Jakarta, karena pada saat itu keluargaku telah hijrah ke Jakarta. Dan aku, aku dilahirkan di Bekasi karena kedua orangtuaku memutuskan untuk membeli rumah di Bekasi dan menetap disana. Alhasil jadilah aku sebagai seorang anak Bekasi, karena aku dilahirkan dan dibesarkan di Bekasi. Ternyata hal tersebut memberikan dampak yang cukup besar kepadaku mengenai kebudayaanku. Aku yang terlahir dari keturunan suku Jawa, tidak mengerti banyak hal mengenai kebudayaan Jawa. Bahkan aku tidak bisa bicara berbahasa Jawa. Ketidaktahuanku terhadap kebuyaanku sendiri sangat terasa ketika aku memasuki bangku pendidikan, terutama pada saat membahas kebudayaan. Didalam keluarga, orangtua memang tidak mengajarkan secara detail tentang kebudayaanku sendiri. Dan mungkin hal tersebut menjadi salah satu penyebab minimnya pengetahuanku akan budayaku sendiri.
Namun aku lantas tidak langsung menyerah begitu saja. Aku berusaha untuk mengenal dan mempelajari kebudayaanku sendiri melalui kehidupanku. Biasanya, ketika kami kumpul keluarga aku sering menanyakan hal-hal yang tidak aku mengerti mengenai kebiasaan orang sana. Seperti misalnya masalah pasar. Jika aku sedang ke rumah mbahku, aku dan sepupuku suka ikut mbah putri pergi ke pasar. Pasar deket rumah mbahku ini ada dua, yang satu namanya pasar Ngepos dan yang satu lagi namanya pasar Srumbung. Biasanya mbah putri hanya mengizinkan aku ikut untuk ke pasar Ngepos saja, karena jaraknya yang dekat sehingga kami hanya tinggal berjalan kaki saja. Kedua pasar tersebut buka pada hari-hari tertentu saja. Dalam tanggalan Jawa, ada yang namanya Pon, Legi, Pahing, Wage. Nah, pasar Ngepos buka hanya pada tanggal/hari Pon dan Pahing, sedangkan pasar Srumbung buka pada tanggal/hari Legi dan Wage. Kalau tidak salah pembagian hari tersebut berdasarkan hari baik atau hari keberuntungan untuk kedua pasar itu. Hal yang simpel dan unik menurutku. Karena sepengetahuanku, yang namanya pasar biasanya buka setiap hari. Lalu ketika gunung merapi mengeluarkan isi perutnya, yang menyebabkan banyak desa hangus terbakar karena wedhus gembel. Saat itu tersiar berita mengenai bentuk awan yang menyerupai kepala Petruk (salah satu tokoh wayang) dengan moncong hidung kearah selatan. Awalnya aku tidak mengerti mengenai berita itu, lalu aku bertanya kepada ibu mengenai hal tersebut. Ibu menjelaskan bahwa itu memang sudah biasa terjadi, moncong yang menghadap kearah selatan itu menandakan bahwa luncuran awan panasnya kearah selatan. Dulu waktu merapi meletus ditahun 2004, bentuk awan diatas gunung tersebut meyerupai gambar Semar (salah satu tokoh wayang juga) yang mengartikan bahwa tidak ada luncuran awan panas. Saat itu ibu juga menceritakan bahwa konon katanya, ketika merapi ingin meletus ada arak-arakan dengan musik gamelan jawa para hewan, jin dan penghuni gunung merapi yang lainnya yang turun ke bawah untuk menghindari letusan gunung merapi. Ada sebagain orang yang disebut orang ‘pintar’ yang dapat mendengar atau mengetahui arak-arakan tersebut sedang berlangsung. Aku yang baru mengetahui kisah itu, sangat amazing ketika mendengarnya. Minimnya pengetahuanku tidak hanya sebatas kebudayaan atau kebiasaan saja, tapi aku juga tidak mahir berbahasa Jawa. Ketidakmahiranku dalam berbahasa Jawa menyebabkan aku sulit berkomunikasi saat pulang ke kampung halaman. Terlebih lagi jika sedang berbincang-bincang dengan orangtua sana yang sebagian besar dari mereka menggunakan bahasa Jawa dalam kesehariaanya. Hal yang sangat terasa mengenai bahasa Jawa adalah ketika aku mendapatkan kesempatan menjadi relawan bencana merapi di Yogyakarta. Miskomunikasi antara relawan dengan korban tidak jarang terjadi. Relawan yang berasal dari Jakarta dan terbiasa berbicara dengan bahasa Indonesia harus berhadapan dengan korban yang dalam kesehariaanya berbicara menggunakan bahasa daerah. Syukur alhamdulillah, ada teman-teman dari universitas lain yang membantu komunikasi kami sehingga miskomunikasi dapat berkurang. Pada saat itu aku merasa malu dan menyesal, karena sebagai orang yang memiliki darah suku Jawa tetapi aku tidak bisa berbicara menggunakan bahasa daerah aku sendiri. Apalagi ketika aku sedang berbincang-bincang dengan para korban atau TNI disana, ketika mereka menanyakan dari mana aku dan orangtuaku berasal. Malu sekali ketika aku menjawab aku berasal dari Jawa tetapi aku tidak bisa berbicara dalam bahasa Jawa. Maka pada saat itu juga, tumbuh tekad dan keinginan dalam diriku untuk lebih mempelajari kebudayaan daerahku, kebudayaan Jawa.
Semakin beranjak dewasa, sedikit demi sedikit pengetahuanku tentang budaya Jawa semakin bertambah. Saat ini aku sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi negeri di Jakarta. Jurusan yang aku ambil adalah jurusan Bimbingan dan Konseling. Bimbingan dan Konseling merupakan sebuah ilmu yang mempelajari tentang bagaimana kita memberikan layanan bimbingan dan layanan konseling kepada orang lain. Dalam dunia Bimbingan dan Konseling, sebagai konselor kita akan menjumpai banyak orang dengan berbagai latar belakang kebuadayaan yang berbeda. Perbedaan latar belakang kebudayaan tersebut membuat setiap individu berbeda sifat, sikap tingkah laku, kebiasaan, dan cara berpikirnya. Hal tersebut wajar terjadi karena dalam dunia bimbingan dan konseling setiap manusia itu unik.
Sebagai seorang calon konselor, dari awal perkuliahan aku sudah diajarkan untuk bisa bersikap profesional dalam bidangnya. Untuk menjadi konselor yang profesional, maka aku harus bisa memahami dan menghargai berbagai latar belakang budaya yang berbeda. Disini aku diajarkan mengenai psikologi lintas budaya, konseling lintas budaya dan juga mengkaji permasalahan sosial dan budaya dalam dunia bimbingan dan konseling. Ketika mempelajari ilmu tersebut, maka aku mendapatkan pengetahuan tambahan yang berkaitan mengenai berbagai budaya yang ada di Indonesia sehingga shock culture pun dapat dihindari.
Sangat penting bagi seorang konselor untuk mengenali dan memahami latar belakang budaya klien, sehingga ketika proses konseling sedang berlangsung tidak terjadi perdebatan atau kesalahpahaman karena perbedaan budaya. Selain itu, seorang konselor juga menjadi tahu bagaimana harus bersikap ketika menghadapi klien yang berbeda budaya. Konselor juga mengetahui cara yang tepat menangani klien sesuai dengan kebudayaannya.
Banyak manfaat yang didapat ketika kita mempelajari sosial dan budaya yang ada di Indonesia, terutama untuk aku sebagai seorang calon konselor. Maka tak ada salahnya buat kita untuk mempelajari kebudayaan yang ada di Indonesia. Selain menunjukkan kecintaan kita pada Indonesia, juga menunjukkan bahwa Indonesia merupakan sebuah negara yang kaya dengan kebudayaannya yang berbeda-beda, yang unik dengan ciri khas masing-masing daerahnya, yang beragam bahasanya, beragam keseniannya, tetapi kita masih dalam satu kesatuan Indonesia.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar